Senin, 29 September 2014

Makalah Mahardika Stit Ulwy Syar'u Man Qoblana, Madzab Sahabat, Dan Istihsab



KATA PENGANTAR



Bismillahirrohmanirrohim

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang ” SYAR’ MAN QOBLANA, ISTIHSAB, DAN MADZAB SAHABAT” ini. Makalah  ini merupakan tugas yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat  bagi kita semua, khususnya  bagi penulis sendiri.












Mojokerto , 27 September 2014





         Penyusun








DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………...1

Daftar Isi…………………………………………………………………… 2

BAB I

1.1    Pendahuluan
a.       Latar belakang……………………………………………………...3
b.      Rumusan Masalah………………………………………………......3
c.       Tujuan……………………………………………………………...3

BAB  II

2.1   Syar’ man qoblana..…………………………………………………...4
a.       Definisi dan dasar hukum Syar’u Man Qoblana …………………...4
b.      Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus……………………........4
c.       Hakikat Syar’u man Qablana……………………………………5
d.      Macam-Macam Syar'u Man Qablana……………………………5
e.       Kontribusi Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi…………….6
f.       Eksistensi Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum…………...7
                                                                                                               
2.2   Istihsab…………………………………………...................................8
a.       Definisi Istihsab…………………………………………………...8
b.      Macam-macam Istihsab…………………………………………...9
c.       Kehujjahan Istihsab………………………………………………10
               
2.3   Madzab Sahabat……………………………………………....………11
a.       Pengertian Madzab Saha.………………………………………....11
b.      Siapa yang disebut dengan Sahabat?................................................12
c.       Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW wafat…………......12
d.      Kehujjahan Madzhab Shahabi………………………………….....12
e.       Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi…………………………...…14
                       
BAB  III

         3.1   Kesimpulan…………………………………………………………..16
        
         3.2   Saran………………………………………………………………...16

3.3   Daftar Pustaka……………………………………………………….17


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat : Al-Qur’an, Al- Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas,dan jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama Al-Qur’an, kedua Al-Sunnah, ketiga Al-Ijma’ dan keempat Al-Qiyas.
Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man Qablana.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.
Dan Ushul fiqh merupakan salah satu kajian ilmu yang komplek, yang tidak mudah untuk dipelajari, karena itu kami memandang perlunya memahami Istishab, sebagai dasar untuk mempelajari ushul fiqh lebih mendalam.
B.     Rumusan Masalah

1.      Apa yang dimaksud Syar’u man qoblana dan hukum-hukumnya ?
2.      Apa hakikatnya Syar’u man qoblana dan macam-macamnya?
3.      Apa pengertian dari Istihsab sebagai dalil ?
4.      Apa Pengertian Madzhab Shahabi ?
5.      Apa saja Kehujjahan Madzhab Shahabi ?

C.    Tujuan

1.      Untuk mengetahui definisi dan dasar hukum Syar’u man qoblana
2.      Untuk mengetahui pengertian Istihsab dan macam-macamnya
3.      Untuk mengetahui Pengertian Madzab Sahabat dan dalil-dalilnya





BAB II
PEMBAHASAN

1.1  Syar’ man qoblana

A.        Definisi dan dasar hukum Syar’u Man Qoblana

Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul.
Ada juga yang mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an dan Sunnah, namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah syariat yang ada sebelum nabi muhammad S.A.W.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman Allah SWT:
Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan) agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syuûra: 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.

B.        Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus

Terkait dengan ketika nabi belum mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah, penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau tersebut.
a)      Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
b)      Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
c)      (شرع لكم من الدين ما وصى به نوحا)[1]
d)     Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman Allah :
e)      إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن اتبع ملة إبراهيم حنيفا
f)       Syari’at Nabi Musa AS.
g)      Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun, ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau memang bersyariat, namun mungkin tanpa mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy. mengatakan bahwa ulama Mutakallimin telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.

C.        Hakikat Syar’u man Qablana

Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam). Khallaf menyebutkan bahwa sya’u man qablana adalah berhubungan dengan “syara‘aha Allah liman sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi, maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.

D.        Macam-Macam Syar'u Man Qablana

Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a.       Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
b.      Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As. Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu
c.       Syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW. Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya. 

E.        Kontribusi Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam

Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis) sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu bahkan masyarakat muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat Alqur’an yang secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal ini dipahami kembali oleh para ahli ushul al-fiqh sebagai bukti peran dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu. Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang ingin menebus dosa cukup berhenti melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi. Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat dilihat pada Q.S. al-muddatssir ayat 4 [2]
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183
Warisan lain yang ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui sabdanya:
 “Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode tersebut dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Alqur’an. Kendati demikian, pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.al-Maidah ayat 32 yang menyebutkan:
Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu juga pada Q.S. al-Maidah ayat 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
                 Pada kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak. Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan kitab suci umat Islam.

F.         Eksistensi Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang

Penentuan posisi dan eksistensi syar'u man qablana di masa sekarang dinilai sangat penting. Selain untuk mempertahankan kelestarian sebuah metode, juga agar hukum Islam akan dapat berdialog dengan segala perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan cita-cita tersebut tentunya tidak lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah (upaya yang dilakukan untuk memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam menetapkan hukum). Adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk mewujudkan kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan bahwa kebaikan antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat berjalan secara bersamaan.
Kebaikan yang dimaksud adalah, harus diorientasikan pada ruang lingkup kemaslahatan atau kebaikan yang bersifat dharûriyyah (kepentingan esensial/kebutuhan primer manusia), hâjiyyah (kepentingan sekunder yang diperlukan untuk menghindari kesulitan dan apabila kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak sampai merusak kehidupan  manusia, karena ia bersifat rukhsah), dan tahsîniyyah (kepentingan penunjang yang hanya mengandung kemaslahatan dalam meningkatkan martabat seseorang dalam masyarakat yang apabila kepentingan ini tidak terpenuhi, tidak akan mempersulit dan merusak kehidupan manusia). Kendati pun adanya kepentingan berkelas seperti di atas, semua itu dalam rangka memelihara agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
Syar'u man qablana juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk menentukan apakah konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat terdahulu dan juga hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan perkembangan zaman sekarang diperlukan adanya pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah. Dari sini dapat diharapkan syar’u man qablana dapat membuktikan eksistensinya sebagai metode di antara metode-metode lain, karena memang antara satu metode dengan metode lain dalam usul al-fiqh terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.

1.2    ISTIHSAB

1.      Pengertian Istishab

            Istishab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu.  Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fikih istishab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut.  Misalnya, orang yang sudah berwdhu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-qur’an dan As-sunnah,juga tidak ditemukan dalil syara’ yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan qaidah:

الأصل فى الأشياء الإباحة       

Yaitu ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.

            Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan makan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapata dalil yang menunjukan akan kebolehannya. 

2.      Macam-macam Istishhab

Kalangan ahli ushul fikih membagi istishab sebagai berikut :

الآصل براءة الذمّة
A.    Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah

            Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل فى لأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدليل على التحريم

B.     Istishab al-Ibahah al-Ashliyyah

            Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.

C.     Istishab Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut

            Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status [3]pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن

D.    Istishab al-Washfi

            Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.

E.      Kehujjahan Istishab

Menurut Muhammad Abu Zahrah,  para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishab. Yang pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan istishab  macam yang keempat, yaitu istishab al-washfi, dkalangan ulama terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:

1)    Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.

2)    Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-washfi  hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru.

            Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selam tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka.

            Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan.  Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.

            Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri  sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja,  dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saj yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalh ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.

            Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة       

    Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.

3.    Pendapat Ulama tentang Istishab

            Ulama Hanafiyah menetapkan bajwa Istishab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Iatishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.

            Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.

2.4  MADZAB SAHABATI

A. Pengertian Madzhab Shahabi

            Madzhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan Madzhab Shahabat(pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus  yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma  para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil?
            Setelah Rasulullah wafat, maka tampilah untuk memberi fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqh dan ilmu, dan merekalah yang telah lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa mengenai beberapa macam peristiwa. Sebagian para tabi’in di antara para tabi’in dan tabi’in-tabi’in telah telah memeperhatikan periwayatannya, sehingga diantara mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul.
            Ringkasan pembicaraan dalam judul ini, adalah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi umat Islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
            Contoh ini tidak dapat menjadi tempat ijtihad dan pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah, sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka termasuk Sunnah, sekalipun pada lahirnya ialah dari sahabat.

B. Siapa yang disebut dengan Sahabat?

            Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama usul fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan  beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Adapula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.

C.  Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW wafat 

            Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dalam mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.

D. Kehujjahan Madzhab Shahabi 

            Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang  ditinggalkan simayat (pewaris).[4]
            Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Qaul Qaddim Imam Al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan.
            Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah alam surat Ali-Imran,3: 110: yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” menurut mereka, ayat ini ditunjukan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman, yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka… {Q.S. Al-Taubah, 9: 100}.Dalam ayat ini, menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat, karena merekalah yang pertama sekali masuk Islam. Pujian ini juga diberikan kepada generasi sesudah mereka yang mengikuti langkah-langkah para sahabat.
            Alasan ini yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW, yaitu sahabatku ibarat bintang, siapapun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. (H.R. Abu Daud). Dalam Hadits lain Rasulullah juga bersabda: Hendaklah kamu berpegang sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudah saya…(H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).
            Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah SAW. Itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat. Selanjutnya Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting.
            Imam Al-Ghazali mengatakan, “Terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar Bin ‘Umar ibn Khathab membiarkan saja orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing”.
            Akan tetapi, Imam al-Syafi’I, menurut Mushthafa Dib al-Bugha, banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’I mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini Imam al-Syafi’I mengatakan pendapat ibn ‘Abbas lebih dekat kepada al-Qur’an dan qiyas, Imam al-Syaafi’I juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain-setuju atau tidak-berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah.
            Ulama Hanifiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat para sahabat yang populer (tersebar luas) dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujui pendapat tersebut, serta pendapat sahabat yang didasarkan kepada ijtihad tetapi tidak populer.
            Apabila pendapat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, menurut ulama Hanafiyyah, pendapat itu dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah, dalam permasalahan yang tidak boleh dilakukan ijtihad, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap permasalahan itu. Juga diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah SAW. Pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah SAW. Terhadap perbuatan para sahabat).
            Apabila pendapat para sahabat itu didasarkan kepada hasil ijtihadnya dan tidak populer, ulama Hanafiyyah tidak menjadikannya sebagai hujjah. Terhadap permasalahan ini seluruh ulama ushul fiqh sepakat untuk menolaknya. Dalam hubungan inilah Imam Abu Hanifah mengatakan, “Mereka itu (sahabat) laki-laki (pahlawan, mujtahid) kita juga laki-laki.

E.  Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi 

            Dalam menetapkan fatwa-fatwa Shahabat sebagai hujjah, jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang Artinya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
2. Sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
a. Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereak lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar rasional.
c. Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.[5]





BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga yang menyalahi.
Syar’u Man Qablana adalah setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab al-Qur’an.
Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad (Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan Tuhan. Syar’u Man Qablana  ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang sebaliknya.
Kini syar'u man qablana akan lebih tepat jika dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sekarang, tentunya semuanya itu berdiri di atas kemaslahatan umat muslim secara keseluruhan dan ditopang oleh pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah guna memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari kontekstualisasi syar'u man qablana adalah dengan cara memposisikan kembali syar'u man qablana sebagai sebuah metode dengan teknik bahwa syari'at-syari'at Nabi Muhammad dipandang sebagai syar'u man qablana bagi umat Muslim yang hidup di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut ada yang masih berlaku, ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak dengan cara mengganti teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam teks normatif tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang.
2.      Saran

Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!


3.      DAFTAR PUSTAKA

       Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
       Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada
       Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
       Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta : Rajawali Pers
       Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: al-Ma'arif


[1] Bazdawi, Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati al-Ushûl hal 135

[2] Bakri, Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, hal 98
[3]  Ghazali, Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl. Hal 131
[4] Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, hal 67
[5]Yahya, Mukhtar dan Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, hal 57



1 komentar:

  1. artikelnya sangat menarik... pas banget dengan mata kuliah saya.... matur nuhun. semogga ilmunya bermanfaat dan berkah...good job.

    BalasHapus