KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
tentang ” SYAR’ MAN QOBLANA,
ISTIHSAB, DAN MADZAB SAHABAT” ini. Makalah
ini merupakan tugas yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria
mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta
Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin
yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori,
keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan,
dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat
bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri.
Mojokerto , 27 September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………...1
Daftar Isi…………………………………………………………………… 2
BAB I
1.1
Pendahuluan
a.
Latar
belakang……………………………………………………...3
b.
Rumusan
Masalah………………………………………………......3
c.
Tujuan……………………………………………………………...3
BAB
II
2.1
Syar’ man qoblana..…………………………………………………...4
a. Definisi dan dasar hukum Syar’u
Man Qoblana …………………...4
b.
Ibadah Nabi
Muhammad Sebelum Diutus……………………........4
c. Hakikat Syar’u man Qablana……………………………………5
d. Macam-Macam Syar'u
Man Qablana……………………………5
e. Kontribusi Syar’u man Qablana
di Masa Identifikasi…………….6
f. Eksistensi Syar’u Man Qablana
dalam Kajian Hukum…………...7
2.2 Istihsab…………………………………………...................................8
a.
Definisi
Istihsab…………………………………………………...8
b.
Macam-macam
Istihsab…………………………………………...9
c.
Kehujjahan Istihsab………………………………………………10
2.3 Madzab
Sahabat……………………………………………....………11
a.
Pengertian Madzab
Saha.………………………………………....11
b.
Siapa yang disebut dengan Sahabat?................................................12
c.
Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW wafat…………......12
d.
Kehujjahan Madzhab Shahabi………………………………….....12
e.
Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi…………………………...…14
BAB
III
3.1
Kesimpulan…………………………………………………………..16
3.2
Saran………………………………………………………………...16
3.3
Daftar Pustaka……………………………………………………….17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i
yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan
manusia itu ada empat : Al-Qur’an, Al- Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas,dan
jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil,
juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut:
pertama Al-Qur’an, kedua Al-Sunnah, ketiga Al-Ijma’ dan keempat Al-Qiyas.
Akan tetapi, ada
dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam
tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian diantara mereka.
Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’, dan
sebagian yang lain mengingkarinya. Dalil-dalil yang diperselisihkan
pemakaiannya ada enam : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab,
Al-Urf, Madzhab Shahabi, dan Syaru Man Qablana.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan
menjadi dua yaitu yang disepakati dan yang masih dipeselisihkan oleh para
ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al -Quran dan Sunnah, serta Ijma’
dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-Quran dan Sunnah).
Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan antar ulama
yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab
Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.
Dan Ushul fiqh
merupakan salah satu kajian ilmu yang komplek, yang tidak mudah untuk
dipelajari, karena itu kami memandang perlunya memahami Istishab, sebagai dasar
untuk mempelajari ushul fiqh lebih mendalam.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud Syar’u
man qoblana dan hukum-hukumnya ?
2.
Apa hakikatnya Syar’u
man qoblana dan macam-macamnya?
3.
Apa
pengertian dari Istihsab sebagai dalil ?
4. Apa Pengertian Madzhab Shahabi ?
5.
Apa saja Kehujjahan Madzhab Shahabi ?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui definisi dan dasar
hukum Syar’u man qoblana
2.
Untuk mengetahui pengertian Istihsab
dan macam-macamnya
3.
Untuk mengetahui Pengertian Madzab
Sahabat dan dalil-dalilnya
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Syar’ man qoblana
A.
Definisi
dan dasar hukum Syar’u Man Qoblana
Syar’u Man Qablana adalah
setiap hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui
pelantara setiap rasul.
Ada juga yang mendefinisikan Syariat yang Allah turunkan pada tiap Nabinya untuk
didakwahkan pada masing-masing umatnya yang dibenarkan dengan oleh Al-Qur’an
dan Sunnah, namun kesemuanya berujung bahwa Syar’u Man Qablana adalah
syariat yang ada sebelum nabi muhammad S.A.W.
Pada asas syari'at yang diperuntukkan Allah SWT
bagi umat-umat dahulu mempunyai asas yang sama dengan syari'at yang
diperuntukkan bagi umat Nabi Muhammad SAW, sebagaimana dinyatakan pada firman
Allah SWT:
Artinya:
"Dia (Allah) telah menerangkan kepadamu sebagian (urusan)
agama, apa yang Ia wajibkan kepada Nuh dan yang Kami wajibkan kepadamu dan apa
yang Kami wajibkan kepada Ibrahim, Musa dan lsa, (yaitu) hendaklah kamu tetap
menegakkan (urusan) agama itu dan janganlah kamu bercerai berai padanya..." (asy-Syuûra: 13)
Diantara asas yang sama itu ialah yang
berhubungan dengan konsepsi ketuhanan, tentang hari akhirat, tentang qadla dan
qadar, tentang janji dan ancaman Allah dan sebagainya. Mengenai perinciannya
atau detailnya ada yang sama dan ada yang berbeda, hal ini disesuaikan dengan
keadaan, masa dan tempat.
Dalam pada itu ada pula syari'at umat yang
dahulu itu sama namanya, tetapi berbeda pelaksanaannya dengan syari'at Nabi
Muhammad SAW, seperti puasa, hukuman qishash dan sebagainya.
B.
Ibadah Nabi Muhammad Sebelum Diutus
Terkait dengan ketika nabi belum
mendapat kitab Al-Quran, beliau beribadah mengikut syari’at siapa, maka
ulama berbeda pendapat, ada yang mengatakan bahwa beliau sebelum diutus
mengikuti mengikuti syari’at nabi sebelumnya, yaitu sebagian kalangan Malikiyah,
penetap ini masih berbeda juga dalam menentukan syari’at yang diikuti beliau
tersebut.
a)
Syari’at Nabi Adam AS sebagai syariat pertama.
b)
Syari’at Nabi Nuh AS, dengan landasan firman Allah :
d)
Syari’at Nabi Ibrahim AS dengan dua firman
Allah :
e) “إن أولى الناس أولى الناس بابراهيم للذين اتبعوه وهذا النبي" أن
اتبع ملة إبراهيم حنيفا
f)
Syari’at Nabi Musa AS.
g)
Syari’at Nabi Isa AS, dengan alasan bahwa
Nabi Isa adalah nabi yang jarak terutusnya paling dekat dengan Nabi Muhammad.
Dan dari sekian pendapat di
atas Imam Syaukani mengatakan bahwa yang lebih mendekati kebenaran adalah yang
mengatakan bahwa Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS, ada juga yang
mengatakan bahwa sebelum terutus beliau tidak mengikuti syariat siapapun,
ini menurut sebagian kalangan Hanafiyah, Hanabbilah, Ibnu Hajib dan
al-Baidhowi. Dan ada sebagian lain yang tidak mau komentar, seperti
al-Amudi, Qadi abdul Jabbar dan al-Ghazali, mereka berpandangan bahwa beliau
memang bersyariat, namun mungkin tanpa
mengikuti syariat Nabi sebelumnya. Al-Qodhy. mengatakan bahwa ulama Mutakallimin
telah sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Nabi Muhammad SAW sebelum terutus
tidak mengikuti syariat siapapun. Golongan Mu’tazilah juga mengatakan bahwa
secara akal dapat tergambar dibenak kita bahwa Nabi mengikuti syariat nabi-nabi
sebelumnya namun mustahil secara kenyataan.
C.
Hakikat Syar’u
man Qablana
Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk
menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama ketika
dilahirkan. Imam al-Ghazali mengatakan bahwa hakikat syar’u man qablana pada
intinya adalah adanya upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum
syari’at Nabi Muhammad (Islam). Khallaf menyebutkan bahwa sya’u man
qablana adalah berhubungan dengan “mâ syara‘aha Allah liman
sabaqana min al-umam” (syari’at yang telah diturunkan Tuhan kepada
orang-orang yang telah mendahului kita (hukum-hukum para Nabi terdahulu).
Berkaitan dengan posisi syar’u man qablana, Zuhaili
menyatakan bahwa dengan diutusnya Muhammad sebagai nabi pada tahun 611 Masehi,
maka sejak itu pula bahwa syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at
yang diturunkan Tuhan. Kendati demikian, Zuhaili juga mengatakan bahwa keadaan
seperti itu masih menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul
al-fiqh, khususnya berkaitan dengan keterikatan Nabi Muhammad secara
pribadi dengan syari’at sebelumnya dan sesudah ia menjadi Nabi, termasuk pula
di dalamnya pengikut-pengikut Nabi Muhammad sampai sekarang.
D.
Macam-Macam
Syar'u Man Qablana
Sesuai dengan ayat di atas, kemudian dihubungkan
antara syari'at Nabi Muhammad SAW dengan syari'at umat-umat sebelum kita, maka
ada tiga macam bentuknya, yaitu:
a.
Syari'at yang
diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita; tetapi aI-Qur'an dan Hadits
tidak menyinggungnya, baik membatalkannya atau menyatakan berlaku pula bagi
umat Nabi Muhammad SAW.
b.
Syari'at yang
diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian dinyatakan tidak
berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW. Contoh : Pada syari’at nabi Musa As.
Pakaian yang terkena najis tidak suci. Kecuali dipotong apa yang kena najis itu
c.
Syari'at yang
diperuntukkan bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian al-Qur'an dan Hadits
menerangkannya kepada kita. Contoh : Perintah menjalankan puasa
Mengenai bentuk ketiga, yaitu syari'at yang diperuntukkan
bagi umat-umat yang sebelum kita, kemudian diterangkan kepada kita al-Qur'an
dan Hadits, para ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama Hanafiyah, sebagian
ulama Malikiyah, sebagian ulama Syafi'iyah dan sebagian ulama Hanabilah
berpendapat bahwa syari'at itu berlaku pula bagi umat Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan inilah golongan Nafifiyah berpendapat bahwa membunuh orang dzimmi
sama hukumnya dengan membunuh orang Islam. Mereka menetapkan hukum itu berdasar
ayat 45 Surat aI-Mâidah. Mengenai pendapat golongan lain ialah menurut mereka
dengan adanya syari'at Nabi Muhammad SAW, maka syari'at yang sebelumnya
dinyatakan mansukh/tidak berlaku lagi hukumnya.
E.
Kontribusi
Syar’u man Qablana di Masa Identifikasi Hukum Islam
Sejak syar’u man qablana diangkat ke permukaan untuk
selanjutnya dijadikan sebagai metode, maka sebagai sebuah pembatas (takhsis)
sekaligus nasikh terhadap syari’at-syari’at terdahulu kontribusi syar’u
man qablana bukan merupakan sebuah kontribusi yang dapat dipandang
sebelah mata. Justru dengan adanya metode istinbat seperti ini, umat Islam, terutama pada masa pengidentifikasian hukum Islam masa itu
bahkan masyarakat muslim sekarang memperoleh kepastian hukum dengan cara
mengindentifikasi syari’at-syari’at yang dibatalkan dan syari’at-syari’at yang
masih berlaku.
Identifikasi hukum tersebut bisa dibaca dalam ayat-ayat
Alqur’an yang secara tekstual menyebut syari’at umat terdahulu, kemudian hal
ini dipahami kembali oleh para ahli ushul al-fiqh sebagai bukti peran
dan kiprah syar’u man qablana dalam percaturan hukum Islam kala itu.
Misalnya Q.S. al-An’am ayat 146 yang sebagai berikut :
“Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala
binatang yang berkuku. Sedangkan dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka
lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya
atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang.
Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka, dan sesungguhnya
Kami adalah Maha Benar”.
Berdasarkan pesan dalam ayat di atas, umat Muhammad yang
ingin menebus dosa cukup berhenti
melakukan perbuatan yang dipandang memiliki konsekuensi dosa dan menyesali
perbuatan yang telah dilakukan dengan dibuktikan secara nyata adanya tekad yang
terealisasi secara empiris bahwa perbuatan dosa tersebut tidak diulangi lagi.
Begitu juga dengan kotoran yang dipandang najis apabila mengenai salah satu
pakaian. Dalam syari’at terdahulu pakaian tersebut harus dipotong sesuai dengan
bagian pakaian yang kena najis. Namun setelah Islam lahir, kewajiban seperti
ini tidak ditetapkan kepada Nabi Muhammad dan umatnya. Kenyataan ini dapat
dilihat pada Q.S. al-muddatssir ayat 4 [2]
Selain itu, terdapat pula kontribusi Syar’u man Qablana
dalam bentuk lain yang tampak berlawanan dengan bentuk di atas. Pada bentuk
itu, syari’at Islam membatalkan syari’at terdahulu, namun pada bentuk kedua ini
justru Nabi Muhammad dan umatnya mewarisi
dan melanjutkan apa yang telah ditetapkan oleh umat terdahulu. Di antara
warisan hukum itu dapat dilihat pada Q.S. al-baqoroh ayat 183
Warisan lain yang
ditetapkan untuk umat Nabi Muhammad adalah perintah berkurban yang sebelumnya
pernah diwajibkan kepada Nabi Ibrahim. Ketentuan itu tetap diberlakukan untuk
Muhammad dan umatnya berdasarkan pernyataan Nabi Muhammad sendiri melalui
sabdanya:
“Berkurbanlah karena yang demikian itu adalah sunnah
bapakmu, yaitu Ibrahim”.
Kedua persoalan hukum di atas tampak mudah diselesaikan
dengan metode syar’u man qablana, bahkan tampaknya tanpa adanya metode
tersebut dimungkinkan hukum-hukum di atas dapat diidentifikasi karena adanya
penjelasan kongkrit yang secara eksplisit sudah dijelaskankan Tuhan melalui ayat-ayat Alqur’an. Kendati demikian,
pernyataan ini bukan berarti bahwa syar’u man qablana telah kehilangan
peran dalam metodologi usul al-fiqh, tetapi justru pentingnya syar’u
man qablana adalah untuk menentukan dan menyelesaikan kemulut persolan yang
dihadapi oleh para ahli usul al-fiqh, terutama yang berkaitan dengan
adanya dalil normatif yang diterima Nabi Muhammad seraya menceritakan sebuah
peraturan tentang kewajiban umat terdahulu, namun tidak ditemukan ketentuan
yang menghendaki peraturan tersebut tetap diberlakukan atau dibatalkan, baik
dari dalil itu sendiri atau pada dalil lain. Misalnya Q.S.al-Maidah ayat 32
yang menyebutkan:
Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barang siapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.
Begitu
juga pada Q.S. al-Maidah ayat 45 yang artinya sebagai berikut:
Dan
Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada kisasnya. Barang siapa yang
melepaskan (hak kisas)-nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Pada
kedua ayat di atas terlihat dengan jelas bahwa Tuhan menceritakan adanya
kewajiban kepada Bani Israil hukum yang tercatat dalam Taurat. Namun tidak
menjelaskan apakah ketentuan itu berlaku juga terhadap umat Islam atau tidak.
Tidak adanya kejelasan pada ayat itu menimbulkan
berbagai pertanyaan di kalangan para ahli usul al-fiqh, apakah hal
tersebut diberlakukan juga untuk umat Islam atau tidak mengingat ketentuan itu
terdapat di dalam Alqur’an yang nota bene merupakan kitab suci umat
Islam.
F.
Eksistensi
Syar’u Man Qablana dalam Kajian Hukum Islam Sekarang
Penentuan posisi dan eksistensi syar'u man qablana di
masa sekarang dinilai sangat penting. Selain untuk mempertahankan kelestarian
sebuah metode, juga agar hukum Islam akan dapat berdialog dengan segala
perubahan zaman dan peradaban. Mewujudkan cita-cita tersebut tentunya tidak
lepas dari pemahaman maqasid al-syari'ah (upaya yang dilakukan untuk
memahami tujuan dan maksud Tuhan dan Nabi dalam menetapkan hukum). Adanya
pemahaman terhadap maqasid al-syari'ah tentunya untuk mewujudkan
kemaslahatan baik di dunia atau pun di akhirat. Bakri mengatakan bahwa kebaikan
antara di dunia dan di akhirat tidak berbeda, bahkan dapat berjalan secara
bersamaan.
Kebaikan yang dimaksud adalah,
harus diorientasikan pada ruang lingkup kemaslahatan atau kebaikan yang
bersifat dharûriyyah (kepentingan esensial/kebutuhan primer manusia), hâjiyyah
(kepentingan sekunder yang diperlukan untuk menghindari kesulitan dan apabila
kebutuhan tersebut tidak terpenuhi, maka tidak sampai merusak kehidupan
manusia, karena ia bersifat rukhsah), dan tahsîniyyah
(kepentingan penunjang yang hanya mengandung kemaslahatan dalam meningkatkan
martabat seseorang dalam masyarakat yang apabila kepentingan ini tidak
terpenuhi, tidak akan mempersulit dan merusak kehidupan manusia). Kendati pun
adanya kepentingan berkelas seperti di atas, semua itu dalam rangka memelihara
agama, akal, jiwa, keturunan dan harta.
Syar'u man qablana
juga tidak terlepas dari maqasid al-syari'ah, karena untuk
menentukan apakah konsep atau materi hukum yang ditetapkan bagi umat-umat
terdahulu dan juga hukum pada zaman Nabi tampak masih relevan atau tidak dengan
perkembangan zaman sekarang diperlukan adanya pemahaman
terhadap maqasid al-syari'ah. Dari sini dapat diharapkan syar’u man
qablana dapat membuktikan eksistensinya sebagai metode di antara
metode-metode lain, karena memang antara satu metode dengan metode lain dalam usul
al-fiqh terkadang senapas untuk menyelesaikan setiap persoalan hukum.
1.2 ISTIHSAB
1. Pengertian Istishab
Istishab menurut etimologi berarti menyesuaikan sesuatu. Sedangkan menurut terminologi ahli ushul fikih istishab adalah memberlakukan hukum suatu peristiwa sesuai dengan keadaannya semula (hukum asal), selama tidak ada dalil yang menentukan hukum lain yang berbeda dengan hukum asal tersebut. Misalnya, orang yang sudah berwdhu kemudian ia meragukan apakah sudah batal atau belum, maka hukum yang masih berlaku disini adalah belum batal wudlunya selama belum terbukti dengan jelas bahwa ia sudah batal.
Oleh sebab itu, apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum kontrak atau suatu pengelolaan yang tidak ditemukan nash-nya dalam Al-qur’an dan As-sunnah,juga tidak ditemukan dalil syara’ yang mengitlak-kan hukumnya, maka hukumnya adalah boleh, berdasarkan qaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Yaitu ibarat suatu keadaan, pada saat Allah SWT. Menciptakan sesuatu yang ada dibumi secara keseluruhan. Maka selama tidak ada dalil yang menunjukan atas perubahan dari kebolehannya, keadaan sesuatu dihukumi dengan sifat asalnya.
Dan apabila seorang mujtahid ditanya tentang hukum binatang, benda-benda, tumbuh-tumbuhan makan dan minuman, atau suatu amal yang hukumnya tidak ditemukan dalam suatu dalil syara’ maka hukumnya adalah boleh. Kebolehan adalah pangkal (asal), meskipun tidak terdapata dalil yang menunjukan akan kebolehannya.
2. Macam-macam Istishhab
Kalangan
ahli ushul fikih membagi istishab sebagai berikut :
الآصل براءة الذمّة
الآصل براءة الذمّة
A.
Istishab
al-Bara’ah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari taklif (beban), sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Atas dasar inilah maka manusia bebas dari kesalahan sampai ada bukti bahwa ia telah berbuat salah. Oleh karena itu, seseeorang yang menuduh orang lain telah berbuat salah maka tuduhan itu tidak bisa dibenarkan secara hukum tanpa adanya bukti yang jelas. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل فى لأشياء الإباحة حتّى يدلّ الدليل على التحريم
B.
Istishab
al-Ibahah al-Ashliyyah
Yaitu istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah (boleh). Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
Penerapan kaidah ini banyak terkait dengan masalah-masalah muamalah. Misalnya mengenai makanan dan minuman, selama tidak ada dalil yang melarangnya maka hal tersebut diperbolehkan. Sebab pada prinsipnya, segala sesuatu yang ada di bumi ini diperuntukan oleh Allah bagi kehidupan manusia.
C.
Istishab
Ma Dalla al-Syar’u ‘ala Tsubut
Yaitu istishab yang didasarkan atas tetapnya hukum yang sudah ada sampai ada dalil yng mencabutnya. Misalnya, seseorang yang sudah jelas melaksanakan akad pernikahan, maka status [3]pernikahan itu tetap berlaku sampai terbukti adanya perceraian. Hal ini sesuai dengan kaidah :
الأصل بقاء ما كا ن على ما كا ن
D.
Istishab
al-Washfi
Yaitu istishab yang didasarkan atas anggapan tetapnya sifat yang ada dan diketahui sebelumnya, sampai ada bukti yang merubahnya. Misalnya, sifat air yang diketahui suci sebelumnya, maka air tersebut tetap suci sampai ada bukti yang menunjukan air tersebut menjadi najis. Demikian pula adanya sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang, maka ia tetap dianggap masih hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia sudah meninggal.
E. Kehujjahan
Istishab
Menurut Muhammad
Abu Zahrah, para ulama sepakat untuk menjadikan tiga macam istishab. Yang
pertama sebagai hujjah dalam hukum Islam. Sedangkan istishab macam yang
keempat, yaitu istishab al-washfi, dkalangan ulama terdapat perbedaan pendapat
sebagai berikut:
1) Kalangan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa istishab tersebut bisa dijadikan landasan secara mutlak, baik dalam mempertahahnkan hak yang sudah ada maupun dalam memunculkan hak yang baru. Misalnya, dalam kasus orang hilang menurut istishab masih dianggap hidup. Dalam hal ini berlaku baginya segala hal bagi orang yang hidup, seperti harta dan istrinya masih dianggap miliknya. Dan jika ada ahlli warisnya yang wafat maka dia berhak mendapat harta warisan sesuai dengan kadar bagiannya.
2) Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa istishab al-washfi hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, dan tidak bisa untuk memunculkan hak yang dianggap baru.
Istishab adalah akhir dalil syara’ yang dijadikan tempat kembali bagi para mujtahid untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapinya. Ulama Ushul berkata,”Sesunggguhnya Istishab adalah akhir tempat beredarnya fatwa”. Yaitu mengetahui sesuatu menurut hukum yang telah ditetapkan baginya selam tidak terdapat dalil yang mengubahnya. Ini adalah teori dari pengambilan dalil yang telah menjadi kebiasaan dan tradisi manusia dalam mengelola berbagai ketetapan bagi mereka.
Seorang manusia yang hidup tetap dihukumi atas hidupnya dan pengelolan atas kehidupan ini diberikan kepadanya sampai terdapat dalil yang menunjukan adanya keputusan tentang kematiannya. Setiap orang yang mengetahui wujud sesuatu, maka dihukumi wujudnya sampai terdapat dalil yang meniadakannya, dan barang siapa mengetahui ketiadaannya sesuatu, maka dihukumi dengan ketiadaannya sampai terdapat dalil yang menunjukan keberadaannya.
Hukum telah berjalan menurut keadaan ini. Jadi, suatu kepemilikan misalnya, tetap menjadi milik siapa saja berdasarkan sebab beberapa kepemilikan. Maka kepemilikan itu dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghilangkan kepemilikan tersebut.
Begitu juga kehalalan pernikahan bagi suami-istri sebab akad pernikahan dianggap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskan kehalalan itu. Demikian pula halnya dengan tanggungan karena utang piutang atau sebab ketetapan apa saja, dianggap tetap ada sampai ada ketetapan yang menghapuskannya. Tanggungan yang telah dibebaskan dari orang yang terkena tunuttan utang piutang atau ketetapan apa saj yang dianggap bebas sampai ada ketetapan yang membebaskannya. Singkatnya asal sesuatu itu adalh ketetapan sesuatu yang telah ada, menurut keadaan semula sampai terdapat sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga telah dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat antara lain sebagai berikut, ”Asal sesuatu adalah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu ketetapan yang mengubahnya”. Sesuai dengan kaidah:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Pendapat yang dianggap benar adalah Istishab bisa dijadikan dalil hukum karena hakikatnya dalillah yang telah menetapkan hukum tersebut. Istishab itu adalah tiada lain menetapkan dalalah dalil pada hukumnya.
3. Pendapat Ulama tentang Istishab
Ulama Hanafiyah menetapkan bajwa Istishab itu merupakan hujjah untuk mempertahankan dan bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut jelaslah bahwa Iatishab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaaan semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan atas perbedaannya.
Istishab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan tentang penetapan orang yang hilang atau yng tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang yang hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.
2.4 MADZAB SAHABATI
Madzhab Shahabi berarti “pendapat para sahabat Rasulullah SAW. Yang dimaksud dengan Madzhab Shahabat(pendapat sahabat) ialah pendapat para sahabat yang tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, sedangkan ayat atau hadits tidak menjelaskan hukum terhadap kasus yang dihadapi sahabat tersebut. Disamping belum adanya ijma para sahabat yang menetapkan hukum tersebut. Persoalan yang dibahas oleh para ulama ushul fiqh adalah, apabila pendapat para sahabat itu diriwayatkan dengan jalur yang shahih, apakah wajib diterima, diamalkan, dan dijadikan dalil?
Setelah Rasulullah wafat, maka tampilah untuk memberi fatwa kepada umat Islam dan membentuk hukum untuk mereka, kelompok dari sahabat yang telah mengenal fiqh dan ilmu, dan merekalah yang telah lama mempergauli Rasulullah dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pula telah keluar beberapa fatwa mengenai beberapa macam peristiwa. Sebagian para tabi’in di antara para tabi’in dan tabi’in-tabi’in telah telah memeperhatikan periwayatannya, sehingga diantara mereka ada yang mengkondifikasikannya bersama sunah-sunah Rasul.
Ringkasan pembicaraan dalam judul ini, adalah bahwasanya tidak ada perselisihan mengenai ucapan sahabat dalam hal yang tidak bisa terjangkau oleh pendapat dan akal sebagai hujjah bagi umat Islam, karena ucapan itu tidak boleh tidak diucapkan karena mendengar dari Rasul, seperti ucapan Aisyah r.a.: “Tidaklah berdiam kandungan itu dalam perut ibunya lebih dari dua tahun, menurut kadar ukuran yang dapat mengubah bayangan alat tenun”.
Contoh ini tidak dapat menjadi tempat ijtihad dan pendapat, oleh sebab itu apabila hal tersebut sah, sumbernya adalah pendengaran dari Rasul, maka termasuk Sunnah, sekalipun pada lahirnya ialah dari sahabat.
B. Siapa yang disebut dengan Sahabat?
Yang dimaksudkan dengan sahabat, menurut ulama usul fiqh, adalah “seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW. Dan beriman kepadanya serta mengikuti dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang, dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah SAW., sehingga secara adat dinamakan sebagai sahabat. Adapula ulama yang mempersingkat identitas sahabat itu dengan “orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad SAW. Serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama.
C. Keadaan para Sahabat setelah Rasulullah SAW wafat
Setelah Rasulullah SAW. Wafat, tampillah para sahabat yang telah memiliki ilmu yang dalam dan mengenal fiqh untuk memberikan fatwa kepada umat Islam dalam mebentuk hukum. Hal itu karena merekalah yang paling lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Dan telah memahami Al-Qur’an serta hukum-hukumnya. Dari mereka pulalah keluar fatwa mengenai peristiwa yang bermacam-macam. Para mufti dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it-Tabi’in telah memperhatikan periwayatan dan pentakwilan fatwa-fatwa mereka. Di antara mereka ada yang mengodifikasikannya bersama sunnah-sunnah Rasul, sehingga fatwa-fatwa mereka dianggap sumber-sumber pembentukan hukum yang disamakan dengan nash. Bahkan, seorang Mujtahid harus mengembalikan suatu permasalahan kepada fatwa mereka sebelum kembali kepada Qiyas. Kecuali kalau hanya pendapat perseorangan yang bersifat ijtihadi bukan atas nama umat Islam.
D. Kehujjahan Madzhab Shahabi
Para ulama ushul fiqh sepakat menyatakan bahwa pendapat sahabat yang dikemukakan berdasarkan hasil ijtihad tidak dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’, baik pendapat itu berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Sebaliknya, mereka sepakat bahwa pendapat para sahabat yang terkait dengan permasalahan yang tidak dapat dinalar logika atau ijtihad, dapat diterima sebagai hujjah. Kemudian, para ulama ushul fiqh juga sepakat bahwa ijma’ sahabat jelas, atau ijma’ sahabat yang tidak diketahui ada yang mengingkarinya dapat dijadikan hujjah, seperti kakek berhak menerima pembagian warisan seperenam harta yang ditinggalkan simayat (pewaris).[4]
Persoalan yang menimbulkan perbedaan pendapat dikalangan para ulama adalah pendapat para sahabat yang berdasarkan ijtihad semata-mata, apakah menjadi hujjah bagi generasi sesudahnya?
Ulama Hanafiyyah, Imam Malik, Qaul Qaddim Imam Al-Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadi hujjah dan apabila pendapat para sahabat bertentangan dengan qiyas (analogi) maka pendapat sahabat didahulukan.
Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah alam surat Ali-Imran,3: 110: yang artinya: “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar…” menurut mereka, ayat ini ditunjukan kepada para sahabat. Kemudian dalam ayat lain Allah SWT juga berfirman, yang artinya “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka… {Q.S. Al-Taubah, 9: 100}.Dalam ayat ini, menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat, karena merekalah yang pertama sekali masuk Islam. Pujian ini juga diberikan kepada generasi sesudah mereka yang mengikuti langkah-langkah para sahabat.
Alasan ini yang mereka kemukakan adalah sabda Rasulullah SAW, yaitu sahabatku ibarat bintang, siapapun kamu ikuti, maka kamu akan mendapat petunjuk. (H.R. Abu Daud). Dalam Hadits lain Rasulullah juga bersabda: Hendaklah kamu berpegang sunnahku dan sunnah khalifah yang empat sesudah saya…(H.R. Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal).
Menurut Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal, kedua sabda Rasulullah SAW. Itu secara jelas menunjukkan bahwa umat Islam diwajibkan untuk mengikuti sunnah para sahabat. Selanjutnya Imam Malik dan Imam Ahmad ibn Hanbal mengatakan bahwa adalah sangat mungkin apa yang dilakukan dan dikatakan para sahabat itu datangnya dari Rasulullah SAW., bahkan tidak sedikit pendapat mereka yang didasarkan kepada petunjuk Rasulullah SAW. Disamping itu, para sahabat tidak akan mengeluarkan pendapatnya kecuali dalam hal-hal yang amat penting.
Imam Al-Ghazali mengatakan, “Terhadap pendapat orang yang tidak terlepas dari suatu kesalahan dan kelalaian, pendapatnya tidak bisa dijadikan hujjah, karena mereka bukanlah orang yang ma’shum (terhindar dari kesalahan). Para sahabat sendiri sepakat untuk berbeda pendapat, sehingga Abu Bakar Bin ‘Umar ibn Khathab membiarkan saja orang-orang yang tidak sependapat dengannya, bahkan mereka menganjurkan agar setiap sahabat beramal sesuai dengan hasil ijtihadnya masing-masing”.
Akan tetapi, Imam al-Syafi’I, menurut Mushthafa Dib al-Bugha, banyak mengambil pendapat para sahabat, bahkan ijma’ yang ia terima sebagai dalil dalam menetapkan hukum adalah ijma’ yang dilakukan para sahabat. Disamping hukum-hukum parsial yang diambilnya dari pendapat para sahabat. Misalnya, apabila terjadi perbedaan pendapat para sahabat, Imam al-Syafi’I mengambil pendapat sahabat yang lebih dekat kepada kandungan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, seperti pendapat ibn ‘Abbas tentang tidak diterimanya kesaksian seorang anak kecil. Dalam hubungan ini Imam al-Syafi’I mengatakan pendapat ibn ‘Abbas lebih dekat kepada al-Qur’an dan qiyas, Imam al-Syaafi’I juga mengambil pendapat seorang sahabat yang tidak diketahui apakah disetujui atau tidak oleh sahabat lain, seperti pendapat Utsman ibn ‘Affan tentang hilangnya kewajiban shalat jum’at apabila bertepatan dengan hari raya ‘Idul Fitri atau ‘Idul Adha. Tidak diketahui pendapat sahabat lain-setuju atau tidak-berkaitan dengan pendapat Utsman ibn ‘Affan ini. Pendapat sahabat seperti ini dapat diterima oleh ulama Syafi’iyyah.
Ulama Hanifiyyah membedakan antara pendapat sahabat yang sama sekali bukan permasalahan ijtihadiyyah dengan pendapat para sahabat yang populer (tersebar luas) dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujui pendapat tersebut, serta pendapat sahabat yang didasarkan kepada ijtihad tetapi tidak populer.
Apabila pendapat tersebut bukan dalam masalah ijtihadiyyah dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang tidak menyetujuinya, menurut ulama Hanafiyyah, pendapat itu dapat diterima sebagai hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Alasan mereka adalah, dalam permasalahan yang tidak boleh dilakukan ijtihad, para sahabat tidak mungkin melakukan ijtihad terhadap permasalahan itu. Juga diduga keras bahwa pendapat itu muncul dari petunjuk atau sikap Rasulullah SAW. Pendapat seperti ini, menurut ulama Hanafiyyah, statusnya sama dengan Sunnah Taqririyyah (pengakuan Rasulullah SAW. Terhadap perbuatan para sahabat).
Apabila pendapat para sahabat itu didasarkan kepada hasil ijtihadnya dan tidak populer, ulama Hanafiyyah tidak menjadikannya sebagai hujjah. Terhadap permasalahan ini seluruh ulama ushul fiqh sepakat untuk menolaknya. Dalam hubungan inilah Imam Abu Hanifah mengatakan, “Mereka itu (sahabat) laki-laki (pahlawan, mujtahid) kita juga laki-laki.
E. Dalil-Dalil tentang Madzhab Shahabi
Dalam menetapkan fatwa-fatwa Shahabat sebagai hujjah, jumhur fuqaha mengemukakan beberapa argumentasi, baik dengan dalil aqli maupun dalil naqli. Adapun dalil-dalil naqli adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah SWT. Yang Artinya :
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah”. (At-Taubah : 100).
2. Sabda Rasulullah SAW. Yang berbunyi :
“Saya adalah kepercayaan (orang yang dipercayai) shahabatku, sedangkan shahabatku adalah kepercayaan para umatku”.
Kalau kita lihat dari dalil naqli yang pertama (firman Allah dalam surat at-Taubah : 100), sungguh allah swt. Telah memberikan apresiasi bagi orang yang mengikuti para Shahabat. Maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kita diperintahkan untuk mengikuti petunjuk-petunjuk mereka, dan oleh karena itulah fatwa-fatwa mereka dapat juga dijadikan hujjah.
Adapun pada dalil naqli yang ke-dua (hadits Nabi), kepercayaan umat kepada shahabat berarti menjadikan fatwa-fatwa shahabat sebagai bahan rujukan karena kepercayaan shahabat kepada Nabi berarti kembalinya mereka kepada petunjuk Nabi Muhammad SAW.
Sedangkan argumentsi yang bersifat akal atau rasional (dalil aqli) ialah :
a. Para Shahabat adalah orang-orang yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW. dibanding orang lain. Dengan demikian, mereka lebih mengetahui tujuan-tujuan syara’, lantaran mereka menyaksikan langsung tempat dan waktu turunnya Al-Qur’an, mempunyai keikhlasan dan penalaran yang tinggi, ketaatan yang mutlak kepada petunjuk-petunjuk Nabi, serta mengetahui situasi di mana nash-nash Al-Qur’an diturunkan. Oleh karena itu, fatwa-fatwa mereak lebih layak untuk diikuti.
b. Pendapat-pendapat yang dikemukakan para Shahabat sangat mungkin sebagai bagian dari sunnah Nabi dengan alasan mereka sering menyabutkan hukum-hukum yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW. tanpa menyebabkan bahwa hal itu datang dari Nabi, karena tidak ditanya sumbernya. Dengan kemungkinan tersebut, di samping pendapat mereka selalu didasarkan pada Qiyas atau penalaran maka pandangan mereka lebih berhak untuk diikuti, karena pandangan tersebut kenungkinan besar berasal dari nash (hadits) serta sesuai dengan daya nalar rasional.
c. Jika pendapat para Shahabat didasarakan pada Qiyas, sedang para Ulama yang hidup sesudah mereka juga nenetapkan hukum berdasarakan Qiyas yang berbeda dengan pendapat Shahabat, maka untuk lebih berhati-hati, yang kita ikuti adalah pendapat para Shahabat karena Rasulullah SAW. bersabda :
“Sebaik-baik generasi, adalah generasiku di mana aku diutus oleh Allah dalam generasi tersebut”.[5]
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Dari uraian di atas nampak bagi kita
akan esensi syariat umat terdahulu, yang mana kandungannya ada yang menyocoki
dan diakui oleh al-Qur’an dan al-Sunnah syariat kita dan ada juga
yang menyalahi.
Syar’u Man
Qablana adalah setiap
hukum yang disyari’atkan Allah pada umat-umat terdahulu melalui pelantara
setiap rasul, Nabi SAW megikuti syariat Nabi Ibrahim AS sbelum mendapat kitab
al-Qur’an.
Hakikat syar’u man qablana pada intinya adalah adanya
upaya dalam memahami syari’at-syari'at terdahulu sebelum syari’at Nabi Muhammad
(Islam), syari’at Nabi Muhammad adalah penutup segala syari’at yang diturunkan
Tuhan. Syar’u Man
Qablana ada tiga macam bentuknya, yang di nasakh, yang di lanjutkan
dan yang di biarkan saja. Ada beberapa pandangan dalam memahami syar'u man
qablana. Ada yang memahaminya sebagai pembatas (takhsis), nasikh
dan bahkan sebagai metode, tetapi semua ini berkaitan dengan keberlakuan
syari'at umat terdahulu, apakah ia masih berlaku atau sudah dibatalkan
berdasarkan dalil normatif dalam Alqur’an yang secara tegas menyebutkan hal
tersebut. Selain itu, ada juga ketentuan syar'u man qablana yang ditulis
kembali dalam Alqur’an tetapi tidak ditemukan ayat lain yang memberlakukan atau
membatalkannya. Terhadap permasalahan ini, terjadi perbedaan pandangan, ada
yang memandang hal tersebut sebagai syari'at Islam ada pula yang memandang
sebaliknya.
Kini syar'u man qablana akan lebih tepat jika
dikontekstualisasikan dengan perkembangan zaman sekarang, tentunya semuanya itu
berdiri di atas kemaslahatan umat muslim secara keseluruhan dan ditopang oleh
pemahaman terhadap maqashid al-syari'ah guna memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Aplikasi dari kontekstualisasi syar'u man qablana
adalah dengan cara memposisikan kembali syar'u man qablana sebagai
sebuah metode dengan teknik bahwa syari'at-syari'at Nabi Muhammad
dipandang sebagai syar'u man qablana bagi umat Muslim yang hidup
di zaman sekarang. Di antara syari'at-syari'at tersebut ada yang masih berlaku,
ada pula yang tidak berlaku. Upaya ini dilakukan tidak dengan cara mengganti
teks-teks normatif, melainkan hukum yang terkandung dalam teks normatif
tersebut dikontekstualisasikan dengan zaman sekarang.
2.
Saran
Demikian
makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan.
Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu
kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil
diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat
bagi kita semua. Amin!
3.
DAFTAR PUSTAKA
Bazdawi, Ali bin
Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati
al-Ushûl, Karatisy: Jawid Baris
Bakri, Asafri
Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Ghazali, Abi Hamid
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm al-Ushûl.
Libanon: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Nuruddin, Amiur. 1991. Ijtihad
Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum dalam Islam, Jakarta :
Rajawali Pers
Yahya, Mukhtar dan
Fatchurrahman. 1993. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung:
al-Ma'arif
[1] Bazdawi,
Ali bin Muhammad. t.t. Ushûl Bazdawî: Kanzû al-Wushûl ilâ Ma'rifati
al-Ushûl hal 135
[2] Bakri,
Asafri Jaya. 1996. Konsep Maqashid Syari'ah Menurut al-Syathibi, hal 98
[3] Ghazali,
Abi Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad., 2000, al-Mustashfâ fî Ilm
al-Ushûl. Hal 131
[4] Nuruddin,
Amiur. 1991. Ijtihad Umar bin al-Khaththab: Studi tentang Perubahan Hukum
dalam Islam, hal 67
artikelnya sangat menarik... pas banget dengan mata kuliah saya.... matur nuhun. semogga ilmunya bermanfaat dan berkah...good job.
BalasHapus